Senin, 15 Mei 2017

FUNGSI DAN KEUTAMAAN TASAWUF SERTA TOKOH-TOKOHNYA

FUNGSI DAN KEUTAMAAN ILMU TASAWUF

TASSAWUF adalah ; ilmu yang dengannya seseorang belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadliran Tuhan ALLOH Yang maha ada, melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tassawuf dimulai sebagai ilmu, tengahnya adalah amal, dan akhirnya adalah karunia ILLAHI.(Syech Ibn Ajiba .M1809)
Seorang sufi wajib mengamalkan ISLAM. tidak ada tasawuf tanpa fiqih, karena hukum hukum lahiriah dari ALLOH tidak bisa diketahui tanpa fiqih. Dan tidak ada fiqih tanpa tassawuf, karena tidak sempurna amal kecuali dibarengi tujuan menghadap diri kepada-NYA, juga tidak ada fiqih dan tassawuf tanpa iman. Maka menggabungkan keduanya menjadi suatu kewajiban, karena ketergantungan keduanya dalam hukum seperti ketergantungan Ruh dan Raga.(Syech Ahmad bin Muhammad bin Ajibah Al Hasani ).

Syech al Hafidz Abu Na’in Rahimahulloh berkata : Menjadi prinsip, bahwa menghadap diri kepada ALLOH dengan benar mensyaratkan adanya kesesuaian dirinya dengan apa yang diridloi ALLOH. Apa yang disyaratkan tidak syah tanpa terpenuhi syaratnya : ALLOH berfirman : “ ……dan Dia tidak meridloi kekafiran bagi hambaNYA….” ( QS:39 :7), maka merealisasikan keimanan menjadi kewajiban, sebagaimana firman ALLOH “ …….. dan jika kamu bersyukur, niscaya DIA meridhoi bagimu syukurmu itu …..” (QS;39:7)

Berbagai pendapat mengenai penamaan TASAWUF, namun menurut Syech Ahmad bin Muhammad bin Ajibah Al Hasani ada lima rujukan untuk istilah TASAWUF, sebagai berikut :

Tasawuf berasal dari kata SHUFAH ( sehelai bulu ) karena seorang sufi bersama ALLOH adalah seperti sehelai bulu yang terlempar yang tidak mempunyai rencana apa apa.
Tasawuf berasal daru shufa AL Qafa ( sehelai bulu dipunggung),karena kelembutanya,seorang sufi itu ringan dan lembut seperti bulu.
Tassawuf berasal dari kata SIFAH ( ke indahan ). seorang sufi tersifati sifat sifat terpuji dan meninggalkan sifat sifat tercela.
Tasawuf berasal dari kata SHAFAH, bersih atau jernih.
Tasawuf berasal dari kata SHUFFAH ( koridor) Masjid Nabawi yang menjadi tempat para ahli shuffah, karena setiap sufi mengikuti sifat yang telah oleh ALLOH kepada mereka dalam firmaNYA:
“dan bersabarlah kamu bersama sama dengan orang yang menyeru Tuhanya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridloan-NYA".( QS:18; 28 ).

Menurut Syech Zarug rahimahulloh Ayat ini merupakan dasar rujukan semua pendapat tentang tasawuf

Selanjutnya berbgai pendapat mengenai definisi tasawuf kami kemukakan sebagai berikut :

1.Syekh Junaid Al Bagdad :

Tasawuf : ialah hendaknya keadaanmu beserta ALLOH tanpa ada perantara

2. Syekh Ma’ruf Al Karkhi :

Tasawuf adalah mencari hakekat dan meninggalkan dari segala sesuatu   yang  ada pada tangan makhluq.

3.Dzunnun Al Misri :

Tasawuf adalah tidak payah karena mencari dan tidak susah musnahnya milik.

4.Sahal At Tastury

Suffi adalah orang yang bersih dari kotoran dan penuh pemikiran dan hanya memusatkan pada ALLOH semata tanpa manusia, dan sama baginya harta benda dengan tanah liat.

5. Prof.DR.HAMKA

Tasawuf adalah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam supaya dia mudah menuju kepada TUHAN

II.SUMBER TASAWUF

Dalam kitab Perkembangan Tasawuf Dari Abad ke Abad Prof.DR.HAMKA menyimpulkan:”Tasawuf islam tumbuh sejak tumbuhnya agama islam itu sendiri.Bertumbuh didalam jiwa pendiri islam itu sendiri,yaitu nabi Muhammad saw. Disauk airnya dari dalam AL Qur’an.

Syekh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah al Hasani ,mengatakan : Ilmu Tasawuf bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, Ilham orang orang salih dan riwayat dari para ‘arif.

Beberapa ayat Al Qur’an sebagi landasan Tassawuf sebagai berikut :

1.Qur’an 3 ;Surat Ali Imron 31

Katakanlah ; Jika kamu mencintai ALLOH, ikutilah aku,niscaya ALLOH mencintaimu dan mengampuni dosa dosamu ALLOH maha pengampun maha penyayang.”

2.Al Qur’an 33:Al Ahzab :41 – 42

“Hai orang orang beriman berdzikirlah ( dengan menyebut nama ALLOH ),dzikir sebanyak sebanyaknya, dan bertasbihlah kepadaNYA diwaktu pagi dan petang.”

3.Al Qur’an 2:Al Baqoroh ;186

“ Dan apabila hambaku hambaku bertanya kepadamu tentang AKU maka ( jawablah ), AKU adalah dekat. AKU mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdo’a kepadaKU. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahku ) dan hendaklah mereka beriman kepadaKU, agarmereka memperoleh kebenaran".

4.Al Qur’an2:Albaqoroh ;115

“ Timur dan barat adalah kepunyaan ALLOH, kemana saja kamu berpaling disitu ada wajah ALLOH sungguh.Alloh maha luas maha mengetahui".

5.AlQur’an 50: Qof: 16

“ Dan sesungguhnya KAMI telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya,dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya .“

III.KEGUNAAN TASAWUF

Buah yang diharapkan dari laku TASAWUF adalah jiwa yang dermawan, hati yang tenang, dan pekerti yang baik kepada semua makluk.Dan Tasawuf dapat digunakan sebagai sarana untuk mendidik hati dan mengetahui alam gaib menuju buahnya tersebut diatas. Ilmu Tasawuf tidak berbicara tentang ungkapan lisan, melainkan tentang perasaan dan lintasan hati. Ilmu ini tidak bisa dipelajari dari lembar kertas, melainkan diambil dari para ahli rasa. Imu ini tidak  bisa diperoleh dengan banyak ceritera, melainkan dengan melayani guru dan menyertai para ahli kesempurnaan ( ahluluKamal)

Ilmu Tasawuf merupakan penyempurna dan syarat bagi semua ilmu lain, karena tidak ada satupun ilmu dan perbuatan kecuali bertujuan menghadap diri kepada ALLOH, dan ikhlas merupakan syarat dalam segala urusan. Ilmu Tasawuf menjadi penyempurna dan memperindah bagi ilmu ilmu lain, hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu lain seperti hubungan ilmu bayan dan nahwu atau seperti ruh dan jasad.

IV. KEUTAMAKAN DAN HUKUM MEMPELAJARI TASAWUF

Esensi utama dari tasawuf adalah Dzat yang Maha Tinggi, karena objek tasawuf adalah dzat  yang maha tinggi. Oleh karena itu ilmu yang membahas dzat yang maha tinggi secara mutlahk adalah  ilmu paling utama. Ilmu Tasawuf dibagian awal memberi petunjuk untuk takut kepada ALLOH, dibagian tengahnya memberikan petunjuk untuk bergaul dengan NYA. dan dibagian akhir memberi petunjuk untuk mengetahui NYA dan untuk mempergunakan seluruh waktu  untuk beribadahkepada NYA..

Syeikh ash –Shiqla r.a berkata :barang siapa membenarkan ilmu ini, maka dia tergolong orang - orang pilihan, setiap orang yang memahaminya tergolong orang - orang terpilih diantara orang pilihan, dan setiap orang yang berbicara dan berbincang tentang ilmu ini, adalah bintang yang tidak terlihat dalam lautan yang tidak terkuras airnya.

Jika engkau bertemu dengan orang yang dianugerahi sehingga membenarkan ilmu ini, maka gembirakanlah dia. Jika engkau bertemu dengan orang yang dianugerahi sehingga dia memhami ilmu Tasawuf ini irilah padanya. Jika engkau bertemu dengan orang yang dianugerahi berbicara ilmu Tasawuf, muliakanlah ia. Dan jika engkau melihat orang yang mengecam ilmu Tasawuf,maka jauhilah dan hindarilah dia, layaknya engkau lari menjauhi karena takut melihat singa.Tidak satu jenis ilmu  kecuali pada suatu waktu ilmu itu  tidak dibutuhkan, kecuali ilmu Tasawuf. Selamanya tak ada seorangpun yang tidak memerlukan lagi. Kecuali yang tidak mengerti.

Menurut Imam AL Ghozali, dari sisi syariat, hukum bertasawuf adalah fardlu ‘ain ( kewajiban individual ), karena setiap orang selain para nabi, pasti punya cacat atau penyakit.
Oleh sebab itu dalam tasawuf ada dikenal istilah Takholli, Tahalli, dan Tajalli.
Takholli artinya mengosongkan diri dari ahklaq tercela
Tahalli artinya menghiasinya dengan ahklaq dan perilaku terpuji
Tajalli artinya terbuka tirai penghalang sihamba dengan Tuhan. Bersatunya antara sihamba dengan Tuhan

Ilmu Tasawuf adalah ilmu bathin, ilmu yang membicarakan perihal yang bathin, jika ilmu fiqih membicarakan perbuatan atau laku jasmani maka Tasawuf mendeteksi segala yang diperbuat hati..
Ruang lingkup ilmu fiqih adalah tentang hukum islam yaitu segala perkara menyangkut ibadah dan muamalah, sedang Tasawuf tentang perkara niat daripada segala perbuatan baik dalam hal ibadah ataupun muamalah.
Itu sebabnya disebutkan bahwa hubungan antara keduanya ibarat jasad dengan ruh. Maka benarlah firman Allah ajja wajalla, " Innamal a'maalu binniyyat," sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.
Amal perbuatan itu diibaratkan jasad, dan niat adalah ruhnya..maka kemana niat itu diarahkan kesanalah amal itu akan sampai.
Jika niatnya karena Allah niscaya sampailah ia kehadirat-Nya.
Ilmu Tasawuf adalah ilmu tentang diri. Ilmu mengenal diri " Man 'arofa nafsahu, faqod 'arofa robbahu.

TOKOH-TOKOH TASAWUF BESERTA PEMIKIRANNYA

Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW, untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi kami disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf :
A.Tokoh-tokoh Ilmu Tasawuf klasik :

Tokoh-tokoh ilmu tasawuf yang tersohor pada zaman dahulu adalah :

Ibn Athaillah as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.

Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.

Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)
Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).
Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.

Al Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak.
Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.

B.Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat dan Ajarannya

Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.

1.     A. Junaid Al-Baghdadi

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.

2.     B. Al-Qusyairi An-Naisabury

Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim. Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo,1983).
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.

3.     C. Al-Harawi

Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, dia sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak diturunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.

Minggu, 14 Mei 2017

Belajar fiqih Islam

Keutamaan Sholat dirumah bagi perempuan

Yang paling utama bagi wanita adalah sholat di rumah

Shalat berjamaah di masjid merupakan perkara yang lazim. Namun sesungguhnya Islam telah mengatur hal-hal khusus bagi wanita.
Sebaik-baik shalat wanita adalah di rumahnya. Karena Allah memerintahkan pada wanita untuk berdiam diri di rumah. Namun tidak mengapa ia keluar asalkan memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak menggoda pria.
Kehadiran wanita untuk shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Hal ini kita ketahui dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, di antaranya hadits Aisyah radhiyallahu anha. Kata beliau : "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar berseru memanggil beliau seraya berkata: Telah tertidur para wanita dan anak-anak . Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata kepada orang-orang yang hadir di masjid : "Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)
Aisyah radhiyallahu anha juga berkata :
"Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
Ummu Salamah radhiyallahu anha menceritakan :
"Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekedar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 866, 870)
Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata :
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 868)
 
Dalam ajaran Islam, shalat wanita lebih baik di rumah.
Dari Ummu Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah diam di rumah-rumah mereka.” (HR. Ahmad 6/297. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di pintu-pintu rumahnya, dan shalat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya” (HR. Abu Daud no. 570. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Shalat jama’ah bagi wanita itu lebih baik di rumahnya daripada mendatangi masjid. … Dan shalat wanita di rumahnya itu lebih menutupi dirinya dan lebih afdhol” (Al Majmu’, 4: 198)
Shalat wanita di rumah adalah pengamalan dari perintah Allah agar wanita diam di rumah. Allah Ta'ala berfirman, "Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu" (QS Al Ahzab: 33).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, "Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki" (HR. Tirmidzi no. 1173, shahih
Dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin ‘Umar berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia" (HR. Muslim no. 442).
Sekali lagi, dilarang memakai harum-haruman ketika keluar rumah. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Wanita mana saja yang memakai harum-haruman, maka janganlah dia menghadiri shalat Isya’ bersama kami" (HR. Muslim no. 444).
Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur" (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Jika setiap wanita memperhatikan shalatnya dan menjaga kehormatan dirinya, maka ia akan mendapatkan keutamaan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini : "Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kemudian timbullah pertanyaan, apa hukum shalat berjamaah bagi wanita ?
Dalam hal ini wanita tidaklah sama dengan laki-laki. Dikarenakan ulama telah sepakat bahwa shalat jamaah tidaklah wajib bagi wanita dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan mereka dalam permasalahan ini.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata (Al-Muhalla, 3/125): “Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).” Beliau juga berkata: “Adapun kaum wanita, hadirnya mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib, hal ini tidaklah diperselisihkan. Dan didapatkan atsar yang shahih bahwa para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar ke masjid.” (Al-Muhalla, 4/196)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan : 'Telah berkata teman-teman kami bahwa hukum shalat berjamaah bagi wanita tidaklah fardhu 'ain tidak pula fardhu kifayah, akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka." (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/188)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengisyaratkan tidak wajibnya shalat jamaah bagi wanita dan beliau menekankan bahwa shalatnya wanita di rumahnya lebih baik dan lebih utama. (Al-Mughni, 2/18)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda kepada para wanita : "Shalatnya salah seorang di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)

Dalam Nailul Authar, Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di Shalat mereka di rumah lebih utama karena aman dari fitnah, yang menekankan alasan ini adalah ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika melihat para wanita keluar ke masjid dengan tabarruj dan bersolek.”[2] (Nailul Authar, 3/168)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah setelah menyebutkan hadits: “meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, menyatakan dalam salah satu fatwanya: “Hadits ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata: ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka akan aku katakan: ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’
Hal ini dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath (bercampur baur tanpa batas) bersama lelaki lain sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih.
Akan tetapi karena shalat wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati maa Yuhammul Mushallin, hal. 570)
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita akan keutamaan shalat wanita di rumahnya.
Setelah ini mungkin timbul pertanyaan di benak kita: Apakah shalat berjamaah yang dilakukan wanita di rumahnya masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri lebih utama dua puluh lima (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh derajat)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 645, 646 dan Muslim no. 649, 650)
Dalam hal ini Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah menegaskan bahwa keutamaan 25 atau 27 derajat yang disebutkan dalam hadits khusus bagi shalat berjamaah di masjid dikarenakan beberapa perkara yang tidak mungkin didapatkan kecuali dengan datang berjamaah di masjid. (Fathul Bari, 2/165-167)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menjelaskan akan hal ini dalam sabdanya:
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipat gandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa: “Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia.” Terus menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)
Dengan demikian, shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan 25 atau 27 derajat, akan tetapi mereka yang melakukannya mendapatkan keutamaan tersendiri, yaitu shalat mereka di rumahnya, secara sendiri ataupun berjamaah, lebih utama daripada shalatnya di masjid, wallahu a’lam.

Rabu, 10 Mei 2017

Kewajiban Berguru bagi seorang yang menuntut ilmu yang bermanfaat

Artikel ini saya mulai dengan mengutip beberapa hadist dan pendapat ulama' tentang pentingnya belajar kepada seorang Guru.

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”.
(HR. Ahmad)

Hadist di atas menjelaskan akan bahaya bagi orang yang mengkaji ilmu agama hanya mengandalkan akal dan logika,
Dan dalam hadits lain Rasululloh menegaskan bahwa barang siapa belajar tanpa bimbingan seorang guru dikhawatirkan sesat..

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah saw bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.”
(Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Pendapat ulama’:

وَلاَبُدَ فِى سُلُوْكِ طَرِيْقِ الْحَقِّ مِنْ اِرْشَادِ اُسْتَاذٍ حَاذِقٍ وَتَسْلِيْكِ شَيْخٍ كَامِلٍ مُكَمَّلٍ حَتَّى تَظْهَرُ حَقِيْقَةِ التَّوْحِيْدِ بِتَغْلِيْبِ الْقَوِى الرُّحَانِيَةِ عَلَى اْلقَوِىِّ الْجِسْمَانِيَّةِ

Diwajibkan bagi orang yang mencari jalan yang benar (belajar agama) untuk mencari seorang guru yang benar, dan di bawah arahan guru yang sempurna dan bisa menyempurnakan sehingga bisa menghantarkan kepada hakikat keyakinan dengan mengedepankan kekuatan ruhani mengalahkan kekuatan jasmani (akal fikiran)
(Tafsir haqqi, juz 15, hal: 13)

وقال الشيخ أَبُوْ عَلِىّ الدَّقَاقِ : لَوْ أَنَّ رَجُلاً يُوْحَى إِلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ لاَ يَجِيْئُ مِنْهُ مِنَ اْلأَسْرَارِ

Syeh Abu Ali al-Daqoq berkata: seandainya seseorang diberi petunjuk dan baginya tidak memiliki guru maka jangan berharap akan muncul baginya asror (rahasia yang benar dari kebenaran ilmu tersebut).

فَعَلَى قَارِئَ اْلقُرآنِ اَنْ يَأْخُذَ قِرَائَتُهُ عَلَى طَرِيْقِ التَّلَقِّى وَ اْلإِسْنَادِ عَنِ الشُّيُوْخِ اْلآخِذِيْنَ عَنْ شُيُوْخِهِمْ كَى يَصِلَ اِلَى تَأْكِدٍ مِنْ أَنَّ تِلاَوَتَهُ تُطَابِقُ مَا جَاءَ عَنِ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و سلم

Bagi orang yang belajar membaca al-Qur’an di(syaratkan) untuk belajar cara membaca dari (guru) yang guru tersebut mendapat ajaran dari gurunya, agar kebenaran dari bacaan tersebut sesuai dengan apa
yang di ajarkan rasulullah saw.
(Haqqu al-Tilawaah, hal: 46)

Berkata syeikh ku, bahwasanya Kedudukan seorang guru bagi murid-muridnya ibarat kompas yang menunjukkan arah yang dituju bagi seorang yang sedang berlayar dilautan nan luas..

Sungguh suatu kebodohan yang nyata jika seseorang berfikir bahwa dia cukup membaca dan mengkaji sendiri secara langsung dengan membaca Al-quran terjemahan... Mengapa dia lupa bahwa dia bisa membaca saja itu karena diajarkan seorang guru..
Bagaimana pula dia bisa mengkaji maknanya tanpa bimbingan seorang guru..

Yang saya maksudkan dengan guru bukanlah guru madrasah, bukanlah dosen, meskipun mungkin mereka mengajarkan mata pelajaran agama islam..

Tapi guru yang saya maksudkan adalah guru yang kamil mukammil, yang sempurna lagi menyempurnakan, yang mengajarkan Ilmu Tauhid, mulai dari jalan Syari'at, jalan Thoriqat, jalan Haqiqat dan jalan Ma'rifat yang melalui gerbang beRupa Bai'at atau istilah yang dipakai di Tanjungkukuh yaitu "Mutus"..

Dimana guru mengijazahkan ilmunya kepada murid disertai jaminan semenjak dari dunia hingga akherat akan kebenaran ilmu yang diajarkannya..

Inilah jalan kebenaran "shirootholmustaqiim"

Untuk belajar kepadanya (guru Tasawuf) seseorang haruslah menghindari perasangka yang buruk terhadapnya, sebab mereka terkadang tidak menampakkan kesolehannya, bahkan terkadang bersikap seperti orang kebanyakan, mendekatlah kepada mereka dengan sangka baik, sama halnya engkau harus bersangka baik kepada Allah SWT. meskipun Dia tak kunjung mengabulkan do'a-do'a mu..
Sebab tidak akan mendekat kecuali orang yang menjaga hatinya dari sangka buruk terhadap dia serta senantiasa sangka baik terhadap kebenaran ilmu-Nya Allah yang diajarkannya..

"jika dengan membaca Al-Qur'an terjemahan dan engkau merasa bahwa engkau telah mendapat petunjuk, maka ketahuilah apa yang engkau baca itu hanyalah alih bahasa dari bahasa arab ke bahasa indonesia, "

Padahal Al-Qur'an mengandung makna yang sangat luas dan dalam yang hanya Allah dan Ambiya' -Nya dan orang-orang khos khowasul khowas terpilih yang telah sampai pada taraf ladunni yang mengetahui betapa luas dan betapa dalamnya tafsir dari Al-Qur'an..

Saudaraku...
Mengapakah engkau masih belum terpanggil untuk menemui seorang pembimbing?
Lembutkanlah hatimu untuk menjumpainya..
Ringankanlah kakimu untuk berjalan ketempatnya..
Apakah engkau menunggu sampai engkau siap dulu..?
Ketahuilah ajal akan menjemputmu tidak perduli apakah engkau sudah siap atau belum..
Apakah karena umurmu belum 40 tahun?
Bagaimana jika Umurmu tidak sampai 40 tahun dan engkau telah dipanggil menghadap Allah Rabbul izzati..?
Tidak ada alasan untuk berleha-leha..
Ingat firman Allah dalam Al-Qur'an..
"Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholih...dst.
Agar kekosongan jiwamu akan terpenuhi dengan cahaya ilahi..
Agar runtuh kesombongan nafsumu yang telah menguasai hatimu selama ini..
Dan lemahlah nafsu mu dihadapan kemuliaan Allah Azza wajalla..
Bersegeralah datang kepada guru, taatlah akan perintahnya dan jauhi apa yang dilarangnya, bersabarlah atas ujiannya..
Mudah-mudahan engkau termasuk yang terpilih untuk menjadi kekasih-Nya.

Semoga tulisan ini dapat memberi pencerahan meskipun hanya sedikit.. Karena apa guna banyak jika tidak bermanfaat, lebih baik sedikit tapi bermanfaat, ibarat pepatah;

"Apalah arti ibadah segunung dibanding segelintir Anugerah"
Yang sedikit tetapi barokah jauh lebih berharga ketimbang Banyak tetapi mendatangkan malapetaka..

Wassalam penulis
ikhwan Tanjungkukuh